Beranda | Artikel
Penjelasan Hadits: Alat Pertanian Mengundang Kehinaan
Kamis, 23 Juli 2015

Terdapat sebuah hadits yang sekilas menyatakan bahwa Allah akan menimpakan kehinaan kepada kaum yang memasukkan alat-alat pertanian ke dalam rumahnya. Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam Shahih-nya (2321) :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ الحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ الأَلْهَانِيُّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِيِّ، قَالَ: وَرَأَى سِكَّةً وَشَيْئًا مِنْ آلَةِ الحَرْثِ، فَقَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لاَ يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: «وَاسْمُ أَبِي أُمَامَةَ صُدَيُّ بْنُ عَجْلاَنَ»

Abdullah bin Yusuf menuturkan kepada kami, Abdullah bin Salim Al Himshi menuturkan kepada kami, Muhammad bin Ziyad Al Alhani menuturkan kepada kami, dari Abu Umamah Al Bahili, beliau berkata, ketika ia melihat mata bajak dan alat-alat pertanian: aku pernah mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tidaklah alat-alat ini masuk ke dalam rumah sebuah kaum kecuali Allah akan masukkan kehinaan kepada mereka“. Abu Abdillah berkata: “nama dari Abu Umamah adalah Suday bin Ajlan”.

Derajat hadits

Hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah. Dan Imam Al Bukhari mengeluarkan hadits ini dalam kitab Shahih-nya.

Penjelasan hadits

Sebagian orang memahami bahwa hadits ini adalah dalil bahwa bertani adalah pekerjaan yang hina. Ini adalah pemahaman yang keliru. Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, sebelum membawakan hadits ini beliau menulis bab berjudul :

بَابُ فَضْلِ الزَّرْعِ وَالغَرْسِ إِذَا أُكِلَ مِنْهُ

“Bab: keutamaan bertani dan bercocok tanam jika hasilnya dimakan”

Di sana beliau membawakan dua dalil, yaitu firman Allah Ta’ala:

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ، أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ، لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا

Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering” (QS. Al Waqi’ah: 64).

Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

tidaklah seorang Muslim yang menanam tanaman atau bertani, lalu ia memakan hasilnya atau orang lain dan binatang ternak yang memakan hasilnya, kecuali semua itu dianggap sedekah baginya” (HR. Al Bukhari 2320).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ketika ditanya,

أيُّ الكسبِ أطيبُ ؟ قال : كسبُ الرَّجلِ بيدِه ، وكلُّ بيعٍ مبرورٍ

“Penghasilan apakah yang terbaik?” Beliau menjawab: “Penghasilan seseorang dari hasil jerih payah tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur” (HR. Al Baihaqi dalam Ash Shaghir 2/237, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib 1688).

Dan tidak diragukan lagi bahwa bertani adalah pekerjaan yang dilakukan dengan tangan. Beliau juga bersabda,

إن قامتِ السَّاعةُ وفي يدِ أحدِكم فسيلةٌ فليغرِسْها

Jika qiamat telah datang, dan ketika itu kalian memiliki cangkokan tanaman, tanamlah!” (HR. Al Bazzar 14/17, dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 9).

Dan beberapa dalil lainnya yang menunjukkan keutamaan bertani dan bercocok tanam. Oleh karena itu, hadits di atas perlu dikompromikan dan dipahami secara benar dengan melihat penjelasan para ulama salaf.

Sebenarnya Imam Al Bukhari sendiri telah menjelaskan fiqih (pemahaman) terhadap hadits ini dalam judul bab dimana beliau membawakan hadits ini. Beliau membawa hadits di atas dalam bab berjudul:

بَابُ مَا يُحَذَّرُ مِنْ عَوَاقِبِ الِاشْتِغَالِ بِآلَةِ الزَّرْعِ، أَوْ مُجَاوَزَةِ الحَدِّ الَّذِي أُمِرَ بِهِ

“Bab: ancaman terhadap akibat dari terlalu sibuk dengan alat-alat pertanian, atau berlebihan dalam menggunakannya hingga melewati batasan yang dituntut”

Oleh karena itu Al ‘Aini menyatakan:

وَلما ذكر فضل الزَّرْع وَالْغَرْس فِي الْبَاب السَّابِق أَرَادَ الْجمع بَينه وَبَين حَدِيث هَذَا الْبَاب، لِأَن بَينهمَا مُنَافَاة بِحَسب الظَّاهِر. وَأَشَارَ إِلَى كَيْفيَّة الْجمع بشيئين أَحدهمَا: هُوَ قَوْله: مَا يحذر من عواقب الِاشْتِغَال بِآلَة الزَّرْع، وَذَلِكَ إِذا اشْتغل بِهِ فضيع بِسَبَبِهِ مَا أَمر بِهِ. وَالْآخر: هُوَ قَوْله: أَو مُجَاوزَة الْحَد، وَذَلِكَ فِيمَا إِذا لم يضيع، وَلكنه جَاوز الْحَد فِيهِ

“Imam Bukhari ketika menyebutkan dalil keutamaan bertani pada bab sebelumnya, beliau ingin mengkompromikan antara dalil pada bab sebelumnya dengan hadits pada bab ini. Karena di antara keduanya sekilas nampak saling menafikan. Beliau mengisyaratkan cara mengkompromikan antara keduanya dengan: pertama, pada perkataan beliau ‘ancaman terhadap akibat dari terlalu sibuk dengan alat-alat pertanian’ maksudnya jika seseorang terlalu sibuk dengan pertanian dan menyia-nyiakan yang diperintahkan agama kepadanya karena sebab itu. Kedua, pada perkataan beliau ‘atau berlebihan dalam menggunakannya hingga melewati batasan yang dituntut’ yaitu ketika seseorang tidak melalaikan yang diwajibkan kepadanya namun melebihi batas dalam bertani” (Umdatul Qari, 12/156).

Ibnul Jauzi juga menjelaskan:

وَوجه الذل فِي ذَلِك من وَجْهَيْن: أَحدهمَا: مَا يلْزم الزراع من حُقُوق الأَرْض فيطالبهم السُّلْطَان بذلك. وَالثَّانِي: أَن الْمُسلمين إِذا أَقبلُوا على الزِّرَاعَة شغلوا عَن الْغَزْو، وَفِي ترك جِهَاد الْعَدو نوع ذل

“Sisi penyebab kehinaan dalam hadits ini ada dua: pertama, hak-hak (pajak) terkait tanah yang diwajibkan kepada petani, yang ditarik oleh pemerintah. kedua, kaum Muslimin terlalu perhatian kepada pertanian dan terlalaikan dari jihad perang. Dan meninggalkan jihad itu ada kehinaan di dalamnya” (Kasyful Musykil min Hadits Shahihain, 4/148).

Penjelasan bagus juga disampaikan Al Mulla Ali Al Qari :

وَالْمَقْصُودُ التَّرْغِيبُ وَالْحَثُّ عَلَى الْجِهَادِ، قَالَ التُّورِبِشْتِيُّ: ” وَإِنَّمَا جَعَلَ آلَةَ الْحَرْثِ مَذَلَّةً لِلذُّلِّ لِأَنَّ أَصْحَابَهَا يَخْتَارُونَ ذَلِكَ إِمَّا بِالْجُبْنِ فِي النَّفْسِ، أَوْ قُصُورٍ فِي الْهِمَّةِ، ثُمَّ إِنَّ أَكْثَرَهُمْ مَلْزُومُونَ بِالْحُقُوقِ السُّلْطَانِيَّةِ فِي أَرْضِ الْخَرَاجِ

“Maksud hadits ini adalah menyemangati dan membangkitkan gairah untuk berjihad. At Turibisyti berkata: ‘Alat-alat pertanian dijadikan sebab kehinaan karena penggunanya lebih memilih hal tersebut (dari pada jihad) karena kepengecutan dalam diri mereka atau lemahnya semangat. Kemudian mereka terikat dengan regulasi dari pemerintah terkait kharaj (cukai hasil tanah)`” (Mirqatul Mafatih, 5/1989).

Maka, makna hadits ini adalah orang yang terlalu sibuk dengan pertanian sehingga terlalaikan dari kewajiban-kewajibannya dalam beragama, diantaranya jihad di jalan Allah, maka Allah akan timpakan kehinaan kepadanya. Atau orang yang terlalu sibuk dengan pertanian sehingga pemerintah yang zalim mengambil kharaj yang dari mereka yang melebihi batas. Namun perlu digaris-bawahi, jihad mengundang kehinaan jika dilalaikan di sini adalah jihad yang syar’i, yaitu pada keadaan ketika jihad disyariatkan oleh agama. Bukan jihad serampangan, atau bahkan aksi terorisme berkedok jihad. Al Aini menjelaskan:

وَقَالَ الدَّاودِيّ: هَذَا لمن يقرب من الْعَدو فَإِنَّهُ إِذا اشْتغل بالحرث لَا يشْتَغل بالفروسية ويتأسد عَلَيْهِ الْعَدو، وَأما غَيرهم فالحرث مَحْمُود لَهُم

“Ad Dawudi berkata: ini belaku bagi orang yang sudah berada dekat dengan musuh, namun ia tersibukkan dengan pertanian dan tidak sibuk dengan latihan berkuda dan bersiap melawan musuh. Adapun yang tidak demikian, maka bertani itu terpuji baginya” (Umdatul Qari, 12/156-157).

Walhamdulillahinsya Allah tidak ada kerancuan lagi dari hadirs ini. Demikian, semoga bermanfaat, wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

🔍 Bacaan Imam Sebelum Shalat Berjamaah, Nama2 Pintu Surga, Hadis Mencari Ilmu, Memilih Jodoh, Posisi Wanita Dalam Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/26079-penjelasan-hadits-alat-pertanian-mengundang-kehinaan.html